GRAMU NEWS ARTICLE
Dalam iklim politik yang tidak pernah menentu di berbagai negara dimana masing-masing memiliki budaya, tradisi, dan fitur unik tersendiri, terdapat satu kesamaan umum, yaitu adanya perselisihan internal atau konflik yang mengarah pada perebutan kekuasaan pemerintahan, baik dengan paksa, atau dengan cara kudeta damai. Berbicara mengenai krisis di Afghanistan, mari mulai dari pembahasan berikut.
Ketika Dunia Bertanya “Apakah Orang Afganistan Telah Kalah Pada Taliban?”, Mari Terlebih Dahulu Simak: “Siapakah Taliban?”
Untuk menjelaskan apa itu Taliban, kita perlu membahas sejarah dari 40 tahun yang lalu ketika Uni Soviet melakukan invasi di Afganistan. Selama perang dingin, tensi antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet membawa para militan Afganistan—yang disebut Mujahidin—di wilayah itu untuk berpihak pada perjuangan anti-komunis. Jutaan orang Afganistan melarikan diri dan mengungsi. AS menganggap pasukan Afganistan sebagai sekutu dan dalam beberapa hal berhasil menjaga hubungan erat dengan Afganistan hingga saat ini. Nilai yang hidup di dalam Mujahidin dicerminkan oleh film Rambo 3: “Bagi kami, perang ini adalah perang suci. Tidak ada kematian sejati bagi Mujahidin karena kami telah menempuh perjalanan terakhir kami dan kami menganggap diri kami sudah mati. Bagi kami, kematian untuk tanah dan Tuhan kami adalah suatu kehormatan.” Dalam periode kemenangan setelah Uni Soviet setuju untuk berhenti menduduki Afganistan setelah 10 tahun, kelompok-kelompok Mujahidin mengambil alih Kabul dan menciptakan negara Islam Afganistan yang baru.
Datangnya Ketakutan: Lahirnya Taliban
Dua tahun kemudian, sebuah kelompok dengan versi hukumnya sendiri muncul di Kandahar Selatan, bernama Taliban, yang mengklaim diri mereka sebagai Mujahidin sejati—mengambil kendali atas provinsi itu dan memaksakan interpretasi hukum Syariah Islam versi mereka sendiri yang dinilai keras. Taliban bertumbuh cepat dan berkembang pesat dalam jumlah dan wilayah. Pada tahun 1996, kerja sama antara para pemimpin Mujahidin gagal bersatu, yang mengakibatkan konflik antar faksi dan kurangnya kepemimpinan yang kuat. Dalam kesempatan ini, Taliban mengambil alih dari wilayah ke wilayah dan memberlakukan rezim ketat mereka: perempuan dibatasi untuk mengejar pendidikan yang layak atau pergi bekerja, aturan ketat tentang pakaian dan janggut, dll. Hal ini melahirkan masalah berkepanjangan di mana ketakutan rakyat bertemu dengan determinasi keras Taliban untuk berkuasa. Hal ini bahkan menimbulkan pertumpahan darah yang mengkhawatirkan dunia.
Taliban bersikeras untuk membawa interpretasi hukum Syariah versi mereka ke Afganistan, memaksa mereka yang tidak dapat melarikan diri untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup yang sama sekali tidak dapat mereka terima bahkan tak pernah dirasakan selama dua dekade. Ketika Taliban terakhir memerintah Afganistan pada tahun 1996 hingga 2001, perempuan dilarang bekerja, anak perempuan tidak diizinkan bersekolah, dan perempuan harus menyembunyikan wajah mereka dan dikawal oleh kerabat laki-laki jika mereka ingin meninggalkan rumah mereka. Musik, televisi, dan bioskop semuanya dilarang. Kelompok tersebut telah menyatakan bahwa mereka akan menghapus pendidikan yang mendiskriminasi perempuan dan mengembalikan ‘hukum Islam’ sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Meskipun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin Taliban berjanji kepada pemimpin negara Barat bahwa perempuan akan memiliki hak yang adil di bawah hukum Islam, termasuk kebebasan untuk bekerja dan menerima pendidikan. Taliban menyatakan awal tahun ini bahwa mereka berusaha mewujudkan “sistem Islam asli” yang menghormati hak-hak perempuan dan minoritas sambil mematuhi norma-norma budaya dan agama. Akan tetapi, perkataan Taliban belum terbukti dapat dipercaya.
Pada awal Agustus 2021, Taliban memasuki kantor sebuah bank di Kandahar dan menuntut sembilan wanita yang bekerja di sana untuk pergi. Mereka dikawal ke rumah mereka oleh orang-orang bersenjata, yang memperingatkan mereka untuk tidak kembali ke pekerjaan mereka. Menurut manajer bank, terdapat tiga wanita yang terlibat dan Taliban menyatakan bahwa kerabat laki-laki dapat menggantikan posisi mereka di pekerjaan tersebut. Insiden itu merupakan indikator peringatan bahwa beberapa hak yang diperoleh kembali oleh perempuan Afganistan sejak 20 tahun yang lalu itu kembali dicabut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada banyak perbedaan antara Taliban yang dulu dan yang sekarang.
Selama proses Taliban mengambil alih Afganistan setelah pasukan AS meninggalkan negara itu, ada organisasi yang memberikan dukungan besar kepada Taliban, yaitu Inter-Services Intelligence Agency (ISI) Pakistan, yang diduga mendukung Taliban untuk mengambil alih Afganistan dalam segala aspek, termasuk status quo, ekonomi, dan kemanusiaan sejak tahun 1994. Untuk mencapai tujuan tersebut, ISI Pakistan memberikan pelatihan, pendanaan, amunisi, pembekalan, bahkan rencana strategis secara langsung dan tidak langsung kepada Taliban dari waktu ke waktu. Di sisi lain, organisasi dunia lainnya, seperti Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Pan Islamic Group, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menentang motif Taliban. Organisasi-organisasi ini mendukung Afganistan dan bahkan mencari bantuan dari negara lain untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Afganistan.
Dua Puluh Tahun Harapan Dari Kekuatan Asing
AS pun menaruh perhatian kuat pada Taliban yang tidak sah berkuasa ini. Hal ini diakibatkan oleh suatu masa di mana Taliban menolak untuk menyerahkan Osama Bin Laden yang diduga menjadi dalang serangan 9/11. Invasi anti-terorisme oleh AS menggulingkan Taliban pada tahun 2001 dan setelah misi AS selesai, mereka menyerahkan kendali kepada aliansi Utara dan faksi Mujahidin lainnya yang memerintah Afganistan pada tahun 1990-an. Transisi diatur dan ditandatangani berdasarkan Perjanjian Bonn.
Pada tahun 2006, Taliban kembali mengambil kesempatan ketika AS sedang fokus pada perang yang berlangsung di Irak. Menanggapi hal ini, Barack Obama memutuskan untuk mengizinkan pasukan AS untuk tetap beroperasi di Afganistan meskipun misi tempur pasukan AS dan NATO yang awalnya dijadwalkan selesai pada tahun 2014. Taliban meningkatkan serangan terhadap pasukan Afganistan dan pasukan asing. Usaha mediasi dan kompromi tidak pernah berhasil. Katakanlah Taliban merupakan klan hitam, sementara Afganistan yang didukung oleh pasukan asing berjuang sebagai klan putih; Bisa dikatakan situasi di Afganistan tidak pernah hitam ataupun putih dari akarnya. Baru pada tahun inilah status quo abu-abu ini menjadi gelap seketika saat Joe Biden memutuskan untuk pasukan AS ditarik dari Afganistan. Pada saat ini, sebuah pertanyaan telah berubah menjadi retoris: Apakah Afganistan telah kalah dari Taliban?
Sejarah Terulang: Hari Yang Afganistan Harap Tidak Akan Datang Lagi
Pada April 2021 saat Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa Amerika akan menarik diri dari Afganistan, jelas terlihat nasib negara tersebut akan memburuk. Mereka akan mulai menarik pasukan pada bulan Mei; visa untuk warga AS di Afganistan pun mulai diproses; komunitas global berpegang pada keyakinan bahwa pasukan Afganistan yang mereka sudah bantu perlengkapi dan latih selama 20 tahun terakhir ini dapat memperoleh kembali tanah yang sebenarnya adalah milik mereka sendiri. Namun, realita tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Di bulan Juli, Amerika meninggalkan pusat operasi militer mereka—pangkalan udara Bagram, tanpa peringatan atau peringatan kepada rekan-rekan Afganistan. Saat itulah Taliban memutuskan untuk meningkatkan pergerakan mereka dan satu per satu menguasai semua distrik; hingga malam tanggal 15 Agustus, Taliban berhasil mengambil alih Kabul. Lahirlah foto yang saat ini beredar, yakni foto pasukan Taliban dengan senjatanya duduk di singgasana kepresidenan.
Hal ini mirip dengan yang terjadi pada tahun 1996 ketika Taliban pertama kali menguasai Afganistan. Bedanya, strategi kelompok tersebut telah tumbuh lebih ganas dan diperlengkapi dengan senjata yang jauh lebih canggih. Pengamat juga mencatat bahwa gejolak ekonomi Afganistan akan terus terjadi sebagai konsekuensi dari ketidakstabilan politik selama beberapa dekade, ditambah lagi dengan masih berlangsungnya dampak pandemi COVID-19. Selebihnya, warga di Afganistan saat ini menghadapi lebih banyak ketidakpastian karena pekerjaan yang hilang, bank yang tutup, dan kenaikan harga bahan makanan.
Bagaimanakah Nasib Masa Depan Warga Afganistan
Spekulasi tentang bagaimana Afganistan akan terlihat di bawah pemerintahan Taliban telah mengambang selama beberapa waktu sekarang, terutama mengenai perlakuan Taliban terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan oposisi. Pertama kali Taliban mengambil alih kepemimpinan di Afganistan, perilaku mereka terhadap kelompok-kelompok tersebut dianggap tidak layak. Perempuan dianggap sebagai objek semata, sementara kelompok minoritas terutama penganut agama Hindu dan Sikh sangat didiskriminasi, meskipun saat ini Taliban menyatakan kesediaan mereka untuk menyesuaikan hukum mengikuti perkembangan zaman. Pada 18 Agustus, Zabihullah Mujahid, juru bicara lama Taliban bersumpah bahwa kelompok itu akan 'menghormati hak-hak perempuan di bawah hukum Syariah' dan 'memaafkan mereka yang memerangi mereka.'
Sebaliknya, beberapa laporan telah menyatakan bahwa Taliban telah melakukan perburuan ‘pintu ke pintu’ untuk mencari warga Afganistan yang sebelumnya bekerja untuk NATO atau pemerintah Ghani. Di provinsi seperti Konar dan Nangarhar, Taliban menembaki mereka yang mengibarkan bendera Afganistan (sebagai lawan dari bendera Taliban) selama Hari Kemerdekaan pada 19 Agustus, akibatnya 2 orang tewas dan banyak lagi yang terluka. Selain itu, salah satu dari tiga wanita gubernur distrik, Salima Mazari, dilaporkan telah ditahan setelah Taliban merebut distriknya. Amnesty International juga mengungkapkan bahwa hanya sebulan yang lalu, Taliban melakukan pembantaian brutal terhadap sembilan anggota kelompok etnis Hazara yang berbahasa Persia setelah menguasai desa Mundarakht, yaitu tempat di mana mereka tinggal. Selaras dengan pola pelanggaran HAM berat ini, jelas tindakan mereka tidak sesuai dengan ucapan mereka.
Hal yang juga menjadi sorotan adalah Presiden Afganistan Ashraf Ghani yang pergi dari Afganistan di tengah kekacauan yang sedang berlangsung, kemudian muncul kembali beberapa hari kemudian di Uni Emirat Arab (UEA) dengan pesan video yang mengatakan, “Saya tidak punya niat untuk melarikan diri dan tetap berada di pengasingan. Untuk saat ini, saya berada di Emirates agar pertumpahan darah dan kekacauan dihentikan. Saat ini saya sedang dalam pembicaraan untuk kembali ke Afganistan... Seandainya saya tinggal di sana, seorang presiden terpilih Afganistan akan digantung lagi di depan mata rakyat Afganistan, dan insiden memalukan yang besar akan terulang kembali.”
Dengan kembalinya presiden ke Afganistan dalam waktu yang tidak pasti, sementara Taliban melanjutkan teror yang ditakuti warga selama puluhan tahun; akankah secercah harapan muncul dari tempat lain? Dan sekali lagi, sebuah pertanyaan menjadi retoris: Bisakah kita mempercayai Taliban?
Mengapa AS Menarik Diri? Apakah Itu Sebuah Pengabaian Ataukah Pelajaran Yang Didapat Selama Dua Dekade?
Tahun ke tahun, keputusan penarikan diri AS selalu mendapat permintaan penundaan. Meskipun demikian, belum ada negara yang berhasil membangun pemerintah Afganistan dengan stabil. Taliban hanya memiliki satu tujuan, yakni membangun rezim yang kokoh dengan hukum mereka sendiri. Dengan atau tanpa intervensi asing, kebangkitan Taliban tetap akan terjadi. Hal ini telah membuat pasukan asing yang telah berkorban besar untuk Afganistan mencapai titik di mana mereka harus memutuskan untuk belajar dari sejarah.
Biden mengklaim bahwa Afganistanlah yang memiliki wewenang penuh untuk memutuskan masa depan mereka, karena inti misi AS sejak awal bukanlah membangun sebuah negara dan bangsa. Biden percaya bahwa dengan semua pelatihan dan peralatan yang telah dibantu AS selama dua dekade terakhir, Pasukan Keamanan Nasional Afganistan jelas memiliki kapasitas untuk melindungi dan mempertahankan pendirian mereka. Pada nyatanya, Taliban berhasil mengambil alih dengan kecepatan yang tidak disangka karena kesalahan hitung pihak AS. Akibatnya,Taliban berhasil mengambil alih Afganistan dalam waktu yang singkat dan banyak anggota dari Pasukan Keamanan Nasional Afganistan dibiarkan tanpa pilihan selain untuk menyerah, bahkan tanpa perjuangan. Hal ini merupakan sebuah perubahan sejarah yang sangat tiba-tiba, namun tidak mengherankan. AS, bersama dengan Inggris—yang pasukannya ditugaskan untuk misi NATO—yang juga mengikuti keputusan AS, menekankan bahwa penarikan mereka bukanlah akhir dari komitmen mereka pada tindakan pembasmian terorisme di Afganistan dan di dunia. Dukungan diplomatik dan kemanusiaan termasuk bantuan pembangunan ke Afganistan akan tetap berjalan sebagai instrumen utama mereka.
Teroris Mengambil Peluang di Tengah Kekacauan
Baru-baru ini, ketika AS sedang menuju penarikan total dari Afganistan, mereka kehilangan 13 tentaranya pada 26 Agustus karena beberapa ledakan, salah satunya bom bunuh diri teroris di Kabul telah dikonfirmasi tersangka adalah Islamic State of Iraq & Syria - Kandahar (ISIS-K). Hal ini menjadi rekor paling tragis AS di Afganistan selama 18 bulan terakhir dan dikatakan sebagai hari paling mematikan bagi mereka selama satu dekade terakhir, belum lagi lebih dari seratus warga sipil di Afganistan meninggal. Para teroris kembali mengambil peluang di tengah kekacauan Afganistan. Hal ini pun menimbulkan kritik politik terhadap keputusan Biden terkait penarikan pasukan AS. Menanggapi insiden ini, AS meluncurkan serangan udara (drone) menargetkan individu yang diduga sebagai perencana serangan sebelumnya dan mungkin yang akan datang. “Kami tidak akan lupa, kami tidak akan memaafkan, kami akan memburu Anda dan membuat Anda membayar,” pesan Biden kepada para tersangka penyerang. ISIS-K berhasil lolos dari sistem keamanan Taliban; janji yang dibuat Taliban untuk melindungi wilayah Afganistan terbukti gagal. Apa yang kita ketahui sejauh ini tentang ISIS-K adalah bahwa mereka memiliki pandangan yang bertentangan tentang hukum Islam versi Taliban; keduanya muncul untuk menempatkan interpretasi mereka tentang hukum Syariah versi mereka sendiri di atas panggung.
Tanggapan Internasional: Ketakutan, Kekhawatiran, dan Pragmatisme
Negara tetangga Afganistan, Pakistan, yang dituduh menyediakan perlindungan bagi Taliban, telah meminta Perdana Menterinya secara resmi menyambut kembalinya Taliban. Tanggapan klasik yang kurang tajam menolak Taliban datang dari India, Jepang, dan banyak negara lain yang sebelumnya telah menunjukkan dukungannya dengan memberikan bantuan pembangunan kepada pemerintah Afganistan di bawah Presiden Ashraf Ghani. Dengan Taliban tampak duduk di atas takhta, baik pernyataan penyambutan maupun penolakan pengakuan tidak dinyatakan secara tegas. Pada spektrum lainnya, reaksi beragam muncul dari langkah yang diambil Cina dalam menyesuaikan diri dengan realita baru kebangkitan Taliban. Negara tirai bambu tersebut telah menyatakan kesiapannya untuk membangun hubungan 'persahabatan' dengan Taliban, di mana sikap kooperatif telah diusahakan atas dasar kewaspadaan Cina terkait potensi ancaman, sebagaimana Kementerian Luar Negeri Cina telah menyatakan “Taliban telah berulang kali menyatakan niat mereka untuk mengembangkan hubungan baik dengan Cina dan menantikan partisipasi Cina dalam rekonstruksi dan pembangunan Afganistan, serta tidak akan pernah membiarkan pasukan mana pun menggunakan wilayah Afganistan untuk melakukan hal-hal yang membahayakan Cina” —sebuah perubahan sikap dari masa lalu di mana Cina menolak untuk mengakui pemerintahan Taliban pada tahun 1996.
Sepanjang sejarah, masyarakat Afganistan dan masyarakat global telah menaruh harapan pada AS. Ketika berbicara tentang intervensi internasional, beberapa orang akan berpendapat bahwa kewajiban moral internasional adalah alasan utama bagi negara-negara kuat seperti AS untuk tidak melepaskan tangan mereka dan lebih bersabar dalam proses pembangunan bangsa dan negara Afganistan. Tampaknya untuk saat ini, apa yang dapat diberikan negara-negara di seluruh dunia adalah upaya untuk mengurangi kemungkinan situasi menjadi lebih buruk, yakni bantuan kemanusiaan dan bantuan kebijakan untuk membantu penanganan krisis pengungsi Afganistan. Adapun proyeksi bahwa konflik Afganistan kemungkinan akan lebih lanjut muncul sebagai objek isu geopolitik di masa depan, di mana negara-negara seperti Rusia mungkin tergoda untuk terlibat lebih jauh dalam hal tersebut. Tendensi yang sama pada isu geopolitik Timur Tengah lainnya seperti di Suriah, Libya, Yaman, dll.
Pengakuan Pemerintah: Haruskah Taliban Diberikan “Kursi” di Meja Bundar Internasional?
Di tengah kekacauan dan tragedi yang kini menimpa Afganistan, sebuah pertanyaan penting pasti akan muncul dalam benak para politisi, pengacara hukum internasional, dan diplomat di seluruh dunia, yaitu, apakah Taliban pantas mendapatkan pengakuan sebagai wakil atau utusan resmi Afganistan di kancah internasional? Dalam hukum internasional, pengakuan bagi sebuah pemerintahan memberikan banyak sekali keuntungan, seperti kecakapan untuk membuat perjanjian internasional, mendapatkan bantuan finansial dan militer, serta dapat menjadi perwakilan resmi dalam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Akan tetapi, dengan lahirnya berbagai gerakan perlawanan terhadap Taliban, serta Presiden Ashraf Ghani yang masih dalam pengasingan, dibutuhkan kriteria objektif untuk menentukan pemerintahan atau fraksi mana yang layak mendapatkan pengakuan. Mengingat besarnya konsekuensi dari pengakuan terhadap pemerintah, maka pemberian pengakuan tersebut tidak dapat dilaksanakan layaknya sebuah kebijaksanaan yang tidak terkekang sama sekali oleh syarat-syarat objektif.
Secara historis, pemberian pengakuan terhadap pemerintahan kerap sekali mengandalkan doktrin “Kekuasaan Efektif”, yang mana pengakuan diberikan kepada pemerintahan yang telah secara efektif menggunakan kekuasaannya, yang menurut perhitungan wajar merupakan kekuasaan permanen, serta memiliki kepatuhan para rakyatnya. Menurut doktrin ini, Pemerintahan Taliban layak mendapatkan pengakuan internasional sebagai wakil resmi dari Afganistan. Menurut sumber kami dari Kota Herat, Pemerintahan Taliban telah mengambil alih sebagian besar infrastruktur dasar, pelayanan publik, serta keamanan kota tersebut. Oleh karena itu, sulit untuk di sanggah bahwa Taliban telah menggunakan kekuasaannya secara efektif hampir di seluruh penjuru Afganistan.
Akan tetapi, Doktrin “Kekuasaan Efektif” tersebut tidak sesuai dengan hak untuk menentukan nasib sendiri, sebuah hak yang mana setiap orang dapat secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, serta budaya. Ketidaksesuaian ini terlihat dari kekejaman pemerintahan Taliban, baik sebelum 2001 maupun sekarang, yang mana rakyat Afganistan dipaksakan ke dalam suatu sistem politik, hukum dan sosial yang tidak mereka pilih, di mana sistem tersebut kerap sekali diterapkan dengan kekerasan terhadap rakyat yang tidak setuju. Ketergantungan terhadap kekerasan untuk mendapatkan kepatuhan rakyat ini daripada perkenanan rakyat inilah yang menunjukkan acuhnya doktrin “Kekuasaan Efektif” terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri.
Agar sesuai dengan hak untuk menentukan nasib sendiri, maka doktrin “Kekuasaan Efektif” harus diubah, agar dasar dari kepatuhan rakyat datang dari perkenanan rakyat dan bukan kekerasan. Dalam doktrin ini, Negara-negara dapat memberikan pengakuan kepada Taliban, apabila rakyat Afganistan menyatakan perkenanannya terhadap pemerintahan Taliban. Harapan atas terjadinya hal tersebut dinyatakan oleh Dewan Keamanan PBB, yang mendesak adanya gencatan senjata serta pembentukan sebuah pemerintahan yang bersatu, inklusif, representatif dengan partisipasi wanita dalamnya.
Namun, beberapa negara lainnya, tepatnya negara-negara Uni Eropa, telah menciptakan doktrin tersendiri dalam memberikan pengakuan bagi pemerintahan. Doktrin tersebut mengharuskan pemerintahan baru tersebut untuk menghormati Hak Asasi Manusia rakyatnya serta tunduk akan supremasi hukum. Doktrin ini sudah diberlakukan bagi negara-negara Eropa Timur, Balkan, dan baru-baru ini kepada Afganistan, yang mana Presiden Komisi Uni Eropa Ursula Von Der Leyen menyatakan bahwa pengakuan terhadap Taliban akan diberikan atas dasar tindakan mereka dan bukan hanya kata-kata belaka, terutama mengenai menghormati HAM dan hak-hak perempuan.
Ganjalan dalam Upaya Taliban untuk mendapatkan pengakuan.
Meskipun secara doktrinal pemerintahan Taliban masih bisa mendapatkan pengakuan internasional, upaya tersebut dapat menemui halangan dalam Pasal 41(2) dari Articles on Responsibility of States on Internationally Wrongful Acts (ARSIWA) yang melarang adanya pengakuan dari negara-negara terhadap suatu situasi yang diciptakan oleh pelanggaran kewajiban yang tidak dapat dikurangi (jus cogens). Kewajiban yang tidak dapat dikurangi meliputi, tapi tidak terbatas pada larangan terhadap penyiksaan, kejahatan perang, perang agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, perbudakan, dan perompakan.
“No State shall recognize as lawful a situation created by a serious breach within the meaning of article 40, nor render aid or assistance in maintaining that situation” (Pasal 41 (2) ARSIWA).
Peraturan ini, yang merupakan perwujudan dari prinsip “ex injuria jus non oritur” dapat menjadi halangan yang kentara bagi pemerintahan Taliban manapun, mengingat banyaknya tindakan-tindakan Taliban, yang melanggar kewajiban yang tidak dapat dikurangi seperti kejahatan perang, dalam jalannya menuju kursi kekuasaan di Afganistan.
Mengeksekusi Warga Sipil: Skala Kejahatan Perang yang Mengkhawatirkan
Sejarah berulang lagi di Afganistan, di mana kejahatan perang kerap dilakukan oleh Taliban. Eksekusi di luar hukum terhadap warga sipil pada tahun 1990-an, pembunuhan sistematis warga sipil dan kekerasan seksual masa perang pada tahun 2010-an, dan eksekusi rakyat pada saat runtuhnya pemerintahan Afganistan pada tahun 2021 di antara lain adalah bukti nyata kejahatan perang Taliban.
Pada saat pengambilalihan militer kembali pada 8 Agustus 1998, Taliban menggorok leher dan menembak mati warga sipil, terutama kelompok Hazara, Uzbek, dan Tajik. Eksekusi tersebut berlanjut selama 6 hari. Lalu, di bulan Mei 2000 dan Januari 2001, Taliban sekali lagi membantai sebagian besar kelompok Hazara. Dalam pembantaian tersebut, tentara Taliban membunuh 31 orang, 26 di antaranya diidentifikasi sebagai warga sipil. Sementara 170 warga sipil tewas dalam waktu empat hari pada 8 Januari 2001.
Taliban terus mengeksekusi warga sipil di Afganistan secara teratur sepanjang 2010, dengan alasan bahwa para korban mendukung pemerintah Afganistan. Mereka yang menolak bekerja sama dengan Taliban dieksekusi dan dituduh sebagai "mata-mata Amerika". Pada tahun 2015, Taliban memiliki daftar sasaran warga sipil dan melakukan pencarian dari rumah ke rumah untuk membunuh mereka. Daftar sasaran berisi warga sipil yang merupakan aktivis, jurnalis, dan pekerja publik. Terlebih itu, tentara Taliban juga melakukan pemerkosaan secara berkelompok dan membunuh seorang wanita sebagai pembalasan karena memberikan perawatan kesehatan reproduksi kepada wanita.
Pada paruh pertama tahun 2021, menurut Misi Bantuan PBB di Afganistan (UNAMA), Taliban bertanggung jawab atas pembunuhan 699 warga sipil atau 917 menurut Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afganistan (AIHRC). Pada 28 Juli, PBB menerima laporan sedikitnya 139 warga sipil tewas dan 481 terluka hanya dalam 13 hari sejak pertempuran dimulai di kota selatan Lashkar Gah. Jumlah sebenarnya kemungkinan akan jauh lebih tinggi, karena komunikasi dengan kota telah terganggu dan banyak warga sipil yang terluka tidak dapat mengakses rumah sakit. Dalam kurun waktu 8 bulan, eksekusi kejam telah dilakukan oleh Taliban. Sementara beberapa dipenggal, yang lain disiksa, dimutilasi, dan dieksekusi. Taliban juga bertanggung jawab atas sebagian besar penghancuran dan penjarahan rumah-rumah pribadi dan infrastruktur sipil.
Di beberapa lokasi, Taliban dilaporkan telah melakukan banyak pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter Internasional dalam konteks konflik bersenjata non-internasional yang berlangsung selama 20 tahun. Kejahatan perang pertama dan utama yang dilakukan oleh Taliban adalah pelanggaran terhadap Pasal 8(2)(a)(i) Statuta Roma tentang Pembunuhan dengan Sengaja, yang mencerminkan perlindungan yang diberikan kepada individu berdasarkan Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa 1949, yaitu non-kombatan, atau orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk tawanan perang dan khususnya penduduk sipil. Namun perlindungan seperti itu tidak diindahkan oleh Taliban, yang tidak menunjukkan pengekangan atau penyesalan dalam kampanye terornya di seluruh penduduk Afganistan.
Pada 22 Juli 2021, teroris Taliban menculik Khasha Zwan – seorang komedian Kandahar yang terkenal – memukulnya dan kemudian menembaknya beberapa kali. Zwan adalah salah satu dari 900 korban yang ditahan dan dieksekusi Taliban di Kandahar. Tidak hanya di Kandahar, tetapi Taliban sengaja terlibat dalam serangan langsung dan menyebabkan kematian warga sipil di Afganistan. Penduduk sipil adalah setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata suatu negara atau tidak berafiliasi dengan pihak dalam konflik bersenjata, dan oleh karena itu harus dilindungi setiap saat. Melindungi individu yang terjebak dalam konflik dan perang, terutama ketika pemerintah menolak atau tidak mampu melindungi warganya sendiri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat dielakan bagi setiap negara karena menghormati satu sama lain sebagai manusia yang setara merupakan prinsip dasar kemanusiaan. Selanjutnya, warga sipil harus dilindungi ketika berada di tangan musuh dan akibat konflik karena mereka tidak berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan.
Seringkali, Taliban tidak secara langsung membunuh warga sipil tetapi malah menimbulkan penderitaan yang tidak perlu sebelum eksekusi. Dengan demikian, melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8(2)(a)(ii) Statuta Romawi tentang Kejahatan Perang Penyiksaan atau Perlakuan Tidak Manusiawi serta Pasal 8(2)(c)(i)-2 Statuta Romawi, yang melarang kekerasan terhadap kehidupan seseorang, khususnya pembunuhan dalam segala jenis seperti mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan. Kejahatan-kejahatan ini adalah tindakan yang merupakan salah satu jenis kebrutalan manusia yang paling keji, yang menyebabkan konsekuensi fisik dan psikologis. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak asasi manusia yang diakui secara universal dan salah satu dasar hukum internasional. Tentunya, penyiksaan individu melanggar martabat manusia dan hak manusia sebagai individu, menjadikannya pelanggaran terhadap salah satu elemen dasar hak asasi manusia.
Pada akhir Juli 2021, fotografer Reuter, Danish Siddiqui, dibunuh dan dimutilasi dengan parah, membuat wajahnya tidak dapat dikenali, tubuhnya dipenuhi lubang peluru dan bekas ban menutupi wajah dan dadanya. Di utara kota Kabul, lima orang ditahan dan kemudian dibunuh oleh Taliban. Banyak kerabat korban ragu-ragu untuk berbicara di depan umum tentang insiden tersebut. Namun, seorang kerabat dari salah satu korban memberikan laporan berikut: “Mereka mencungkil mata sepupu saya dengan tongkat, mereka juga mencungkil lidahnya dan menabraknya dengan mobil. Dia juga terkena peluru dari jari kaki sampai kepalanya”.
Bagaimana Kita Bisa Membantu Warga Sipil yang Berisiko di Afganistan?
Sampai dengan sekarang, melihat bahwa dunia masih berada di bawah ancaman pandemi Covid-19, menyelimuti kehidupan pribadi kita dan menghambat mobilitas manusia di seluruh dunia, bantuan paling layak yang dapat dilakukan setiap orang adalah dengan meningkatkan kesadaran tentang pelanggaran hukum dan kekejaman yang dilakukan Taliban. Selain meningkatkan kesadaran di akun media sosial pribadi kita, siapa pun yang tergerak oleh tragedi di Afganistan dan mampu memberikan bantuan keuangan kepada para korban pemberontakan dapat menyumbang ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), salah satunya adalah International Rescue Committee (IRC), sebuah LSM pembangunan kemanusiaan global. Karena IRC telah memberikan bantuan kemanusiaan di Afganistan selama krisis tiga dekade, inter alia menyediakan warga dengan tempat tinggal, pendidikan, air bersih, dan dukungan kesehatan, kredibilitas dan kepercayaan mereka dalam memberikan bantuan tersebut tidak patut untuk diragukan. Seiring dengan serangan 26 Agustus 2021 di bandara Kabul, IRC menekankan lagi pentingnya bantuan kemanusiaan kepada warga Afganistan yang berisiko dan mendesak orang-orang di seluruh dunia untuk membantu mereka melalui misi IRC. Bantuan atau donasi apa pun, sekecil apa pun, akan tetap bernilai untuk menyelamatkan nyawa warga Afganistan.
References:
Aljazeera. (2021, July 29). Taliban admits to killing Afghan comic, to try alleged killers.
Ansar, M. (2021, July 25). Residents Claim Taliban Killed 5 People in Kabul District.
TOLOnews. https://tolonews.com/afghanistan-173730
Brad Roth "Secessions, Coups and The International Rule of Law: Assessing the Decline
of The Effective Control Doctrine" (2010) 11 Melb. J. Int'l L. at at 395
Davies, J. (2021, July 31). Body of Reuters photographer was badly mutilated in Taliban
custody. Mail Online. https://www.dailymail.co.uk/news/article-9847247/Body-Reuters-photographer-badly-mutilated-Taliban-custody-officials-say.html
Deng, C. (2021, July 28). China meets with Taliban, stepping up as U.S. exits Afghanistan.
The Wall Street Journal. https://www.wsj.com/articles/china-meets-with-taliban-stepping-up-as-u-s-exits-afghanistan-11627492777.
Hans Kelsen The General Theory of Law and State (Harvard University Press, Cambridge,
1949) at 283.
Hersch Lauterpacht "Recognition of Governments: II. III. The Legal Nature of Recognition
and the Procedure of Recognition" (1946) Columbia Law Review at 91, 92
Lubold, G., & Trofimov, Y. (2021, June 23). WSJ News exclusive | Afghan government could
collapse six months after U.S. withdrawal, new intelligence assessment says. The Wall Street Journal.
Matt Waldman “The Sun in the Sky: The relationship between Pakistan’s ISI and Afghan
insurgents” (2010) Carr Center for Human Rights Policy Kennedy School of Government, Harvard University page 4
Michelle Lee, K. F. (2021, August 29). Afghanistan live updates: Military carries out strike
in Kabul as slain service members are returned to U.S. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/world/2021/08/29/afghanistan-kabul-taliban-live-updates/.
Motlagh, J. (2021, August 30). As the Taliban return, Afghanistan's past threatens its future.
Nojumi, N. (2002). The rise of the Taliban. The Rise of the Taliban in Afghanistan, 117–124.
Rambo Holy War. (2004). Alpha1Media. http://alpha1media.com/wp-
content/uploads/2012/05/Rambo-Holy-War-Treatment-Archive.pdf.
Schmitt, M. S. and E. (2021, August 26). Live Afghanistan updates: Explosion outside Kabul
Airport after security warnings. The New York Times. https://www.nytimes.com/live/2021/08/26/world/afghanistan-taliban-biden-news.
Shesgreen, D. (2021, August 29). 'egregiously mishandled' or inevitably 'messy'? what went
wrong in US withdrawal from Afghanistan. USA Today. https://www.usatoday.com/story/news/politics/2021/08/28/biden-under-fire-who-blame-afghanistans-collapse-amid-us-withdrawal-military-deaths/5616208001/.
Statement by President von der Leyen at the joint press conference with President
Michel and Spanish Prime Minister Sánchez during the visit to the welcome hub for evacuated Afghan EU Delegation staff and their families at Torrejón Air Base, 21 August 2021. https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/statement_21_4341
Sullivan, D. P. (2007). Tinder, Spark, oxygen, And fuel: The Mysterious rise of the Taliban.
Journal of Peace Research, 44(1), 93–108. https://doi.org/10.1177/0022343307071659
The Irish Times. (2021, August 26). Joe Biden: 'we will not forgive. we will not forget. we
will hunt you down and make you pay'. The Irish Times. https://www.irishtimes.com/news/world/middle-east/joe-biden-we-will-not-forgive-we-will-not-forget-we-will-hunt-you-down-and-make-you-pay-1.4656724.
Thomas, K., & Salama, V. (2021, August 17). Biden wanted to leave Afghanistan. he knew
the risks. The Wall Street Journal. https://www.wsj.com/articles/biden-wanted-to-leave-afghanistan-he-knew-the-risks-11629214842.
UN News, Afghanistan: ‘Now is the time to stand as one’, UN chief tells Security Council,
16 August 2021, https://news.un.org/en/story/2021/08/1097872.
Menarik banget artikelnya